selamat datang di blog ayu.....
:)

Sabtu, 31 Maret 2012

laporan praktikum sistem subak

BAB I
Pendahuluan.

    Irigasi sebagai faktor penunjang dalam pembangunan pertanian telah menunjukan peranannya yang penting dalam sejarah umat manusia. Negara yang memiliki fasilitas irigasi yang teknik irigasi telah baik dan maju,pada umumnya tingkat pembangunan pertaniannya telah maju, taraf hidup pertaniannya lebih sejahtera dan ekonomi bangsanya lebih kuat.
    Di Bali dikenal sistem irigasi yang sudah ada sejak dulu yaitu subak. Subak merupakan sistem irigasi yang berbasis petani dan lembaga yang mandiri. Selain pengertian tersebut, menurut Windia (2006), subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi dilahan sawah. Arif (1999) memperluas pengrtian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik sosio-teknis religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi.
    Subak di Bali dilandasi oleh konsep atau falsafah THK (Tri Hita Karana), yang mempunyai makna bahwa dalam proses berkehidupan menuju hidup yang sejahtera, manusia harus berusaha menjaga keserasian hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan), manusia dengan alam lingkungan (Palemahan), dan manusia dengan sesamanya (Pawongan) sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan konsep itu subak dibali dalam memanfaatkan sumberdaya air berusaha utuk menjaga keserasian dan keharmonisan seperti halnya konsep berkehidupan yang selaras dengan alam.
    Suatu organisasi tradisional yaitu subak mempunyai suatu pola pikir, sistem sosial, dan artefak atau kebendaan. Suatu subak beranggapan bahwa bagaimana sebaiknya irigasi itu dapat dikelola agar mampu mencukupi kebutuhan air berbagai tanaman pada saat tanaman itu kekurangan air. Untuk mencapai hal itu maka dibentuklah suatu organisasi sosial subak untuk mengelola irigasi yang tersedia, agar tercapai keberhasilan dalam bidang pertanian. Untuk mendukung tercapainya  berbagai tujuan dari sistem sosial subak, maka elemen-elemen yang ada didalam organisasi sosial tersebut masing-masing memiliki tanggung jawab agar fungsi-fungsi dari artefak yang tersedia dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
    Untuk mengenal lebih nyata tentang bagaimana hal tersebut, maka telah dilaksanakan praktikum sistem irigasi subak pada tanggal 23 juli 2011 yang berlokasi di Subak Lodtunduh. Selengkapnya tentang sistem subak Lodtunduh akan dijelaskan dalam laporan praktikum ini.


BAB II
Keadaan Umum Subak Lodtunduh.

    Subak lodtunduh merupakan salah satu subak yang mendapat aliran air irigasi dari bendung kedewatan. Subak ini terletak di kawasan Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Adapun luas sawah di subak Lodtunduh tersebut yaitu sekitar 25 ha, dimana pada subak tersebut menerapkan sistem tanam yang serempak dengan jenis pola tanam, padi-padi, palawija. Kepemilikan lahan yang paling sempit di subak tersebut adalah 15 are, yang paling luas adalah 90 are, dan rata-rata 30 are. Pada subak tersebut terdapat gatra parhyangan berupa pura empelan dan pura subak yang kebetulan dalam subak tersebut menjadi satu. Sementara itu setiap sawah pribadi milik petani memiliki sanggah catu yang berlokasi didekat saluran inlet. Struktur organisasi subak Lodtunduh sangat sederhana. Hanya ada kelian subak atau pekaseh yang dijabat oleh Pak Ketut Suar dan wakil pekaseh yang dijabat oleh Pak Ketut Miasa.


BAB III
Pembahasan.

3.1. Pura Labaan
    Subak sebagai Cultural Lanskap memiliki kekuatan fisikal dan spiritual. Sebagai kekuatan spiritual maka diceminkan dengan adanya Pura, baik seperti Pura Labaan ataupun Pura yang ada di tiap subak.
    Pura Labaan merupakan salah satu dari cerminan gatra parhyangan yang mengikat dan mempersatukan seluruh subak yang mendapat aliran air irigasi dari bendung kedewatan. Air yang dibendung di bendungan kedewatan berasal dari Sungai Ayung dan setelah mengalir lagi dari bendung kedewatan namanya berubah menjadi " Tukad Lauh ". Tukad Lauh ini mengairi 3.300 ha atau 30 lebih subak yang ada dikabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Gianyar. Pura Labaan inilah yang mempersatukan 30 lebih subak-subak tersebut.
    Dalam suatu subak tidak ada hubungannya dengan desa. Suatu subak tidak berada dibawah desa, sebaliknya desa juga tidak berada dibawah subak. Masing-masing lembaga tersebut bersifat otonom, artiya mengurus dirinya semdiri. Subak mengurus masalah pertanian, dan desa mengurus masalah penduduk. Intinya antara kedua lembaga tersebut tidak ada kegiatan bawah-membawahi. Subak dan desa hanya melakukan hubungan fungsional atau koordinasi. Seperti saat di subak ada kegiatan panen, sementara pada saat yang sama desa juga akan mengadakan upacara. Terlebih dahulu desa mengontrol ke subak, apabila kegiatannya bersamaan maka upacara yang akan dilaksanakan di desa digeser pelaksanaannya ke hari yg lain.


3.2. Bangunan Bagi I.
    Bangunan bagi I adalah bangunan bagi pertama yang mendapat aliran air dari tukad lauh. Sebetulnya air tukad lauh ini berasal dari aliran air sungai ayung yg dibendung sepanjang 2 km, dimana sungai ayung dibendung habis sehingga namanya berubah menjadi " Tukad Lauh ". Bangunan bagi yang pertama ini membagi air ke Kabupaten Gianyar (yang paling timur), Kota Denpasar (yang paling tengah), dan kabupaten Badung (yang paling barat).
    Bangunan bagi I yang ada di Subak Lodtunduh ini merupakan bangunan yang sangat besar. Bangunan bagi umumnya dibuat pada aliran sungai yang sedang menikung demikian juga dengan bangunan bagi I yang ada di tukad lauh tersebut. Artinya setelah tikungan pada sungai barulah dibuat bendungan atau bangunan bagi yang besar. Tujuannya disini yaitu sebelum air masuk ke pintu air, maka air sungai tersebut mengalami  proses sentrifugal, dimana kotoran, lumpur, dan pasir akan menepi, sehingga hanya air yang masuk ke saluran. Hal ini merupakan salah satu kearifan dari sistem subak.
    Pada bangunan bagi I ini terdapat pintu-pintu sebagai tempat saling meminjam air kalau diperlukan. Misalnya kalau Kabupaten Badung memerlukan air karena kekeringan, maka bisa meminjam air dari pintu-pintu tersebut, karena ada suatu kebijakan meminjam air kalau ada kekeringan di suatu kawasan. Di dekat bangunan bagi I terdapat gatra parhyangan berupa bangunan suci " Pura ". Setiap ada kawasan-kawasan yang tidak jelas pemiliknya, maka subak akan membangun bangunan yang netral atau suci berupa pura di bangunan bagi ini. Kalau tidak dibangun pura di tempat tersebut, maka kemungkinan dapat menimbulkan konflik, seperti ada orang yang menaruh pasir, membangun warung, menanam pohon, dan lain sebagainya kemudian hasilnya siapa yang harus memetik ? Padahal itu merupakan kawasan netral. Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, maka kearifan subak telah membangun bangunan suci yang dianggap mampu memelihara bangunan fisik suatu subak. Bangunan fisik selalu diperkuat kehadirannya oleh bangunan spiritual.
    Dari bendung sampai ke bangunan bagi I Ini disebut dengan saluran primer, sedangkan dari bangunan bagi I sampai bangunan bagi II disebut dengan saluran sekunder. Di sepanjang saluran sekunder banyak terdapat orang yang sedang mandi ataupun mencari pasir. Pada saluran sekunder juga terdapat terowongan. Panjang terowongan tersebut yaitu 200 m, dimana bagian atasnya dibuat melengkung atau setengah lingkaran dan lengkungannya rata-rata pasti diatas tanah, karena apabila air sungainya besar dan terjadi banjir, maka air tidak akan melebihi bagian atas terowongan. Secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa air akan mengalir apabila di permukaannya ada udara. Kalau dibuat segiempat lurus, maka saat air besar tidak akan ada udara di atasnya, maka udara tidak bisa masuk ke terowongan. Selain itu, lintasan terowongan juga dipilih pada lahan yang terdiri dari batu, batu padas, atau tanah yang diyakini cukup keras dan kuat untuk menyangga tanah yang ada diatas bangunan terowongan itu. Tinggi terowongan dibuat sebanding dengan rata-rata tinggi anggota subak setempat. Ini merupakan suatu kearifan lokal subak yang selalu membuat terowongan diatasnya melengkung.
    Pada Subak Lodtunduh terdapat bangunan pelimpah, yaitu bangunan tempat melimpahkan air yang tidak dipergunakan lagi oleh sawah yang ada di bagian atas, sehingga dilimpahkan ke saluran sekunder agar dapat dipergunakan oleh sawah yang ada dibagian lebih hilir. Pada saluran sekunder di subak Lodtunduh juga bermuara saluran pelampias. Air yang mengalir pada saluran pelampias merupakan air yang berasal dari sawah di bagian atas yang sudah tidak membutuhkan air lagi, sehingga air tersebut dibuang ke saluran pelampias yang nantinya akan kembali ke saluran irigasi dengan tujuan untuk memberikan air pada sawah yang lebih membutuhkan. Pada saat praktikum saluran pelampias tersebut kering karena sawah di atasnya sedang pasca panen (airnya di bagian hulu di stop), sehingga mereka tidak memerlukan air dan tidak ada yang mengalir ke saluran  pelampias.


3.3. Bangunan Bagi II.
    Bangunan bagi II yang terdapat di subak Lodtunduh merupakan bangunan bagi yang besar, dimana bangunan bagi ini dibuat pada aliran sungai yang sedang menikung. Tujuannya adalah sebelum air masuk ke pintu air supaya air tersebut mengalami proses sentifugal, sehingga kotoran, lumpur, dan pasir bisa menepi, lalu air pun bisa masuk ke saluran.
    Subak lodtunduh merupakan subak yang paling hulu dari sistem irigasi di sana, sehingga setelah air masuk ke pintu air, maka air tersebut akan langsung mengalir ke saluran tersier yang akan bermuara di subak lodtunduh.
Di dekat bangunan bagi II juga terdapat bangunan suci berupa pura yang dipercaya dapat merawat bangunan fisik subak. Itulah kearifan lokal masyarakat Bali di suatu subak.
    Dari bangunan bagi II sampai pada Subak Lodtunduh merupakan saluran tersier. Sepanjang saluran tersier sampai areal sawah merupakan tanggung jawab subak dan selebihnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Meskipun itu merupakan tanggung jawab subak, tetapi apabila subak tersebut tidak mampu maka subak dapat memohon bantuan kepada pihak pemerintah. Subak merupakan organisasi bersifat otonom, bebas, tidak diperintah tetapi subak bukanlah sebuah organisasi yang tidak memerlukan bantuan.
    Subak berhak meminta bantuan pemerintah apabila seandainya terjadi jebol pada bangunan yang begitu besar, dimana petani tidak mampu utuk memperbaikinya sendiri. Pada saat ini Pemerintah Bali setiap tahunnya memberikan dana sebesar 20 Juta kepada setiap subak di Bali. Dana tersebut yang digunakan untuk memperbaiki saluran-saluran yang jebol serta perbaikan pura. Sedangkan Desa Adat mendapat bantuan dana sebesar 55 Juta per tahunnya. Lembaga yang hanya mendapat bantuan pemerintah adalah lembaga adat yaitu subak dan desa adat. Bantuan-bantuan tersebut diberikan oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga yang otonom.

3.4. Balai Subak Lodtunduh.
    Ujung dari saluran tersier yang telah ditelusuri berada di subak Lodtunduh. Setelah air irigasi memasuki kawasan subak, maka air tersebut mulai dibagi-bagi oleh subak dengan dasar pembagian air yang proporsional yaitu sistem tektek. Satu tektek air irigasi di subak, pada dasarnya bermanfaat utuk mengairi areal sawah seluas satu bit tanah.
    Karena langsung masuk ke sawah petani, maka pertani berhak untuk mengatur air irigasi tersebut. Contohnya : Petani tidak memberi air pada petakan sawahnya yang pertama karena petakan tersebut akan ditanami palawija, bisa bunga pacar, mentimun, bisa kangkung, yang jelas untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Karena petakan pertama tidak memerlukan air, maka air dibiarkan mengalir ke petakan yang akan ditanami padi.
Petani di Subak Lodtunduh juga menerapkan konsep Tri Hita Karana, salah satunya parhyangan. Itu terbukti dengan adanya sanggah catu pada tiap-tiap kepemilikan sawahnya. Pada suatu petakan sawah terdapat sistem one inlet dan one outlet. Air yang mengairi sawah, apabila tidak diperlukan lagi maka akan dibuang melalui outlet. Tidak diperbolehkan jika air dari sawah tersebut langsung mengairi sawah milik orang lain, air harus melalui saluran lain. Inilah yang dimaksud subak dengan sistem one inlet dan one outlet.
    Adapun keuntungan dari one inlet and one outlet system adalah : (1) petani berhak mengadakan diversifikasi tanaman tanpa ada konflik dalam pengelolaan air irigasi (mekipun pelaksanaannya dilakukan pada musim hujan), (2) petani bisa saling pinjam-meminjam air, misalnya petani A memerlukan tambahan air irigasi, maka petani A tersebut meminta ijin untuk ditutup saluran yang berada di selatan sawahnya, sehingga air pun dapat mengalir dan mengairi sawah petani A tersebut.
    Pada suatu subak, sebelum membuat bangunan bagi, maka petani akan memperlebar dahulu salurannya supaya ambangnya lebar sehingga sampah-sampah tidak masuk dan ikut mengalir, serta dalam pembagiannya agar proporsional.  
    Pada subak lodtunduh terdapat suatu balai yang dinamakan dengan balai subak. Balai subak merupakan tempat pertemuan formal dari anggota-anggota subak. Subak lodtunduh luasnya sekitar 25 ha dengan jumlah anggota sebanyak 70 orang. Di balai subak tersebut mereka bertemu dan berkumpul bersama untuk melaksanakan rapat subak, biasanya menjelang panen. Selain itu di Subak Lodtunduh juga terdapat bale timbang. Bale Timbang adalah suatu tempat untuk memutuskan sesuatu. Ciri khas dari bale timbang ini yaitu kecil dan hanya mempunyai dua tiang.
    Subak Lodtunduh juga memiliki koperasi tani sehingga subak tersebut mampu untuk membeli pupuk secara bersama, membeli bibit padi bersama, dan dapat memberikan pinjaman kepada petani saat mereka memerlukan uang untuk pengolahan tanah, untuk membajak, traktor, dan lain sebagainya. Dulu, subak Lodtunduh membeli pupuk pada tengkulak dan petani akan membayarnya setelah panen. Kalau panennya berhasil maka petani syukur dapat membayarnya, kalau panennya gagal, maka petani harus membayarnya 2 x lipat dan mungkin saja berhutang kepada tengkulak tersebut.
3.5. Suasana perjalanan dari balai subak menuju tempat istirahat.
    Suasana saat perjalanan dari balai subak menuju tempat istirahat sungguh sangat menyenangkan. Kami melihat pemandangan sawah yang sungguh mengagumkan.  Saat berjalan dari balai subak, saya melihat saluran bagi air yang pembagiannya proporsional dengan sistem tektek. Selain itu, saya dapat melihat secara langsung bagaimana sistem inlet dan outlet pada setiap sawah yang dimiliki oleh petani. Berjalan di atas tapakan sawah di bawah teriknya matahari sungguh menyenangkan, karena itu dilakukan bersama teman-teman sambil bercanda-tawa. Sesekali kami mengabadikan momen-momen tertentu lewat kamera yang dibawa oleh salah seorang teman.
    Perjalanan kami melewati turunan yang lumayan tajam. Kami pun turun dengan sangat hati-hati agar tidak jatuh dan terperosok. Bagi kami saling menjaga keselamatan bersama membuat perjalanan semakin indah. Hamparan sawah, pohon pisang, kelapa, dan saluran air adalah teman mata kami saat perjalanan. Disaat yang sama ada salah seorang teman saya yang tidak memakai sepatu karena alas sepatunya lepas. Pasti kakinya kepanasan karena tidak memakai alas kaki. Tidak lama berselang sampailah kami semua di tempat istirahat (di balai timbang subak lain) yaitu di batas subak lodtunduh dan di dekat tempat air suci yaitu " beji ". Disana kami makan siang bersama, tetapi tidak semua dari kami yang membawa bekal terutama teman saya yang laki-laki.
    Saya pun membagi sedikit bekal yang saya bawa kepada mereka. Kami pun makan dengan lahapnya karena perut sudah keroncongan. Setelah selesai makan ada pengabsenan dari korti dan ada pengarahan dari dosen pembina. Selesai pengarahan kami kembali mengabadikan foto secara bergiliran. Karena sudah siang dan istirahat sudah cukup, maka perjalanan pulang dilanjutkan melalui jalan di dekat beji dan melalui rumah penduduk.




BAB IV
Penutup

    Subak Lodtunduh yang terletak di Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar merupakan subak yang paling hulu mendapatkan aliran air irigasi dari Bendung Kedewatan. Subak Lodtunduh memiliki beberapa artefak antara lain berupa Pura Labaan, sangga catu, bangunan Bagi I, terowongan, saluran pelampias, bangunan bagi II, saluran primer, sekunder, tersier, kuarter, saluran inlet,outlet, balai subak, balai timbang, pura subak dan pura empelan. Subak Lodtunduh merupakan subak yang wilayahnya tidak terlalu luas, hanya sekitar 25 ha dengan jumlah anggota sekitar 70 orang. Susunan organisasinya pun sangat sederhana yaitu hanya ada pekaseh dan wakil pekaseh. Selain itu subak Lodtunduh tidak dibagi-bagi ke dalam beberapa tempek. Petani di Subak Lodtunduh juga menerapkan konsep Tri Hita Karana, salah satunya parhyangan. Itu terbukti dengan adanya sanggah catu pada tiap-tiap kepemilikan sawahnya. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan keharmonisan dalam subak tersebut.

 

Daftar Pustaka

Windia. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak. Pustaka Bali Post.   Denpasar
Narasumber (Wayan Windia)

2 komentar: